POLITIK HUKUM AGRARIA
Nama : Wahyu Desambodo
NIM : 1002025192
PRODI : ilmu pemerintahan
CIRI-CIRI DARI MASA-KEMASA POLITIK HUKUM AGRARIA
INDONESIA
Perdebatan Seputar Revisi UUPA Noer
Fauzi (1999), terdapat 4 (empat) golongan alasan dalam merevisi UUPA:
• Golongan Pertama, adalah mereka yang
beranggapan bahwa UUPA dan semua perundang-undangan lainnya pasti dibuat dengan
niat baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat, sehingga tentunya UUPA
dan peraturan-peraturan pelaksananya sangat dapat diandalkan sebagai sarana
perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan. Soal perampasan tanah dinilai
terjadi karena penyimpangan dari pejabat berperilaku menyimpang dalam
mempergunakan kewenangannya. Versi ini menganggap tidak perlu ada revisi UUPA,
yang diperlukan adalah pembaruan pelaksanaannya saja.
• Golongan kedua, adalah mereka yang
percaya bahwa UUPA adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-hak
masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksananya
yang menyimpangkan mandat UUPA tersebut. UUPA adalah hukum yang berkarakter
responsif yang diproduksi di masa Orde Lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai
UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya
berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat
populis namun dikelilingi oleh peraturan yang kapitalistik. Golongan ini
mempersepsi perampasan tanah disebabkan oleh orientasi pembangunan rejim Orde
Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri dan proyek-proyek pemerintah
dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat banyak. Hukum agraria yang
diproduksi adalah sub-sistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga orientasinya
adalah memberi dukungan legalitas pada pemodal besar maupun proyek pemerintah.
• Golongan ketiga, adalah mereka yang
menganut ideologi pasar bebas dan melihat bahwa birokrasi yang rente dan
kolutif membuat ‘pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan’ merupakan satu
bagian dari pencipta biaya ekonomi tinggi (high cost economic), dan karenanya
peran birokrasi harus dikurangi seminimal mungkin. Hukum agraria harus
direformasi agar tercipta ‘kenyamanan’ berusaha bagi para pelaku bisnis. UUPA
merupakan rintangan besar, karena dengan UUPA intervensi negara terhadap
pengadaan tanah terlampau besar. Soal-soal perlawanan rakyat terhadap
perampasan tanah, tumpang tindih alokasi tanah dan kegagalan penyelesaian
sengketa merupakan hambatan bagi investasi dalam negeri maupun investasi asing.
Perdebatan Seputar Revisi UUPA High cost
economic ini harus dipangkas melalui pelucutan kekuasaan intervensi negara
dalam perekonomian, khususnya di pasar. Golongan ini mempromosikan, apa yang
mereka sebut efficient land market, dimana pasar tanah merupakan jalan utama
bagi bisnis memperoleh tanah-tanah sebagai alas dari usaha mereka. Jawaban
utama bagi sengketa tanah adalah pemantapan status hukum dari semua persil
tanah melalui program pendaftaran tanah. Tapi, sekaligus dengan hal ini, sektor
bisnis bisa memperoleh tanah tanpa perlu menimbunkan kesulitan yang berarti.
• Golongan keempat, adalah yang
mendudukkan UUPA sebagai produk hukum yang perlu dipandang secara kritis.
Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala penyimpangan penggunaan
wewenang dari pejabat sehubungan dengan maraknya sengketa agraria --
sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama. Juga tidak dipungkiri pula adanya
sejumlah peraturan pemerintah yang melingkupi UUPA berorientasi kapitalistik,
dan ada pula sejumlah peraturan yang menyimpang dari UUPA. Namun, kegagalan
UUPA dipersepsi pula sebagai pemberi andil bagi terciptanya sengketa agraria
yang marak lebih dalam lima belas tahun belakangan.
• DPR telah menetapkan agenda perubahan
UUPA sebagai salah satu prioritas kerja legislasi pada tahun 2005. DPR telah
menerbitkan dokumen Program Legislasi Nasional Tahun 2005- 2009 yang didalamnya
ditetapkan 229 (dua ratus dua puluh sembilan) RUU yang akan dibuat –disusun
Badan Legislasi Nasional (BALEG) DPR. Di dalam dokumen ini, salah satu agenda
adalah penyusunan ”RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria“. Selain itu, Baleg juga telah menerima
usulan RUU Lahan Abadi Pertanian dan berbagai RUU yang bersifat sektoral yang
terus didesakkan untuk diselesaikan, salah satunya yang tak dapat dibendung
adalah RUU Penanaman Modal yang mencantumkan pemberian ijin kepada pemilik
modal untuk menguasai tanah di Indonesia hingga 95 tahun.
• Terkait dengan gagasan mengenai revisi
UUPA 1960 ini, saya pribadi berpendapat sebagai berikut: • Pertama,
penyempurnaan UUPA harus memberi makna penguatan bagi semangat kerakyatan yang
terkandung di dalamnya. Penyempurnaan mestilah menambah baik isi UUPA, bukannya
menghapus atau menggantikannya dengan undang-undang yang semangat dan isinya
sama sekali baru.
• Kedua, menyempurnakan UUPA 1960
mestilah dilakukan secara hati-hati agar tidakterseret kepentingan globalisasi
kapitalisme yang hendak mengukuhkan kepentingan ekonomi-politiknya di lapangan
agraria.
•
Ketiga, penyempurnaan UUPA hendaknya meneguhkan posisinya sebagai payung bagi
peraturan perundang-undangan agraria. Pengaturan atas sektor kehutanan,
perkebunan, pertambangan, perairan, pertanian, pesisir dan laut, dan sebagainya
mestilah mengacu pada UUPA.
•
Keempat, proses penyempurnaan UUPA hendaknya dilakukan secara demokratis dan partisipatif.
Selain melibatkan departemen dan lembaga negara, juga pakar dan organisasi
non-pemerintah (LSM) yang integritasnya teruji. Dan yang terpenting diajak
bicara adalah rakyat yang paling berkepentingan atas agraria, yakni serikat
petani, nelaan, masyarakat adat dan rakyat kecil pada umumnya, dengan
memperhatikan perimbangan partisipasi laki-laki dan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar