PERBANDINGAN IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH ORDE
LAMA,ORDE BARU DAN REFORMASI
Sejak berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah-langkah penting dalam
rangka perujudan cita desentralisasi. Langkah-langkah penting yang diambil
pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan sistemnya sendiri.
IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH DI ERA ORDE LAMA SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 1/1945 merupakan
undang-undang pertama yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini
antara lain ditetapkan :
a) Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali
di Daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi,
Kabupaten dan lain-lain Daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri (
Pasal 1).
b) Komite Nasional Daerah menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala
Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak
bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih
luas dari padanya (Pasal 2)
c) Oleh Komite Nasional dipilih beberapa
orang, sebanyak banyaknya 5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama
dengan dan pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari
dalam Daerah itu (Pasal 3).
Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite
Nasional Daerah berubah atau menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus
rumah tangga Daerahnya dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan
pemerintah Pusat dan peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.
Meskipun Badan Perwakilan Rakyat Daerah
diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak suara.
Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945
menimbulkan berbagai persoalan, karena UU ini tidak diberi Penjelasan. Sehingga
terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam UU tersebut. Akhirnya kementerian dalam negeri memberikan penjelasan
tertulis terhadap UU No. 1/1945.
Penjelasan tertulis Kementerian Dalam
Negeri itu memuat keterangan-keterangan mengenai tujuan diadakannya UU No.
1/1945. Tujuan yang pertama bagi diadakannya UU ini adalah untuk menarik
kekuasaan pemerintahan dari tangan Komite Nasional Daerah (KND) dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Semua KND dibentuk sebagai pembantu
pemerintah daerah dimasa kekuasaan sipil, pangrehpraja dan polisi dan alat-alat
pemerintahan lainnya masih ditangan Jepang.
b) Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari
tangan Jepang, KND dalam prakteknya mengganti Pangrehpraja dan polisi di
samping Pangrehpraja dan polisi sebenarnya yang menjadi pegawai Republik
Indonesia.
c) Dualisme yang demikian itu sangat
melemahkan kedudukan dan kekuasaan Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat
pemerintahan yang resmi. (The
Liang Gie)
Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan
legislatif Badan Perwakilan Rakyat Daerah, wewenangnya adalah :
1. Kemerdekaan untuk mengadakan
peraturanperaturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi);
2. Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk
menjalankan peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Pemerintah itu (medebewind
dan selfgovernment = sertantra dan pemerintahan sendiri);
3. Membuat peraturan mengenai suatu hal yang
diperintahkan oleh undangundang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu
harus disyahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan (wewenang antara otonomi
dan selfgovernment).
Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi
yang diberikan kepada Daerah adalah otonomi Indonesia yang lebih luas
dibandingkan pada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah
agar tidak bertentangan dengan peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.
Sedangkan alat kelengkapan (organ)
Pemerintahan Daerah ada tiga (meskipun tidak dinyatakan secara tegas), yakni :
(1) KNID sebagai DPRD Sementara yang
bersamasama dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.
(2) Badan (terdiri dari
sebanyakbanyaknya 5 orang) yang dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai
"Badan Eksekutif" bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah
menjalankan pemerintahan seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
(3) Kepala Daerah yang diangkat
oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali
urusan-urusan yang dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.
Berdasarkan hubungan kelembagaan dari alat
perlengkapan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 1/1945 itu, maka nyatalah adanya
dualisme kekuasaan eksekutif yang menimbulkan persoalan-persoalan dalam
lapangan pemerintahan di daerah. Keadaan ini pula yang menjadi salah satu dasar
untuk memperbaharui UU No. 1/1945, yakni dengan diundangkannya UU No. 22/1948.
Penjelasan Umum UU. No. 22/1948 menyebutkan:
"Pemerintahan
daerah pada sekarang ini masih merupakan dualistis, yang kuat, oleh karena di
samping Pemerintahan Daerah yang berdasarkan perwakilan rakyat (Dewan
Perwakilan Daerah dan Badan Eksekutifnya, yang termasuk juga Kepala Daerahnya),
terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh Kepalakepala Daerah sendiri,
dan pemerintahan ini mengambil bagian yang terbesar di daerah. Maka
Pemerintahan daerah yang serupa itulah yang merupakan pemerintahan dualistis,
dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang berdasarkan
demokrasi, sebagai tujuan revolusi kita. Dengan undangundang baru inilah
pemerintahan dualistis akan dihindarkan."
Memperhatikan UU No. 22/1948 secara
keseluruhan, maka UU ini bermaksud hendak memberi isi pada Pasal 18 UUD 1945
dan meletakkan dasar:
a) Untuk menyusun
pemerintahan Daerah dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk
mempercepat kemajuan rakyat di daerah;
b) Untuk mengadakan tiga
tingkatan Daerah dengan tugas dan kewenangan yang pada pokoknya diatur dalam
suatu undangundang;
c) Untuk memodernisir dan
mendinamisir pemerintahan desa dengan menetapkan desa sebagai Daerah Tingkat
III;
d) Untuk menghilangkan pemerintahan
di daerah yang dualistis, dengan menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Dewan Pemerintah Daerah sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai Ketua dan anggota Dewan
Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD);
e) Untuk memungkinkan Daerah-daerah
yang mempunyai hakhak asalusul di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai
pemerintahan sendiri, dibentuk sebagai Daerah Istimewa. (Wajong;1975;37)
Selanjutnta UU No. 22/1948 bermaksud
menghapus Pamong Praja dan memberikan otonomi sebanyak-banyaknya (UU ini belum
mempergunakan istilah otonomi "seluas-luasnya") kepada Daerah (lihat
Penjelasan angka III, UU No. 22/1948). Istilah sebanyak-banyaknya mengandung
arti beraneka ragam urusan pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan kepada
daerah. Otonomi Daerah akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas.
Sehingga, pengertian otonomi "sebanyak-banyaknya" pada dasarnya sama
dengan "otonomi seluas-luasnya". Dalam hubungan ini UU No. 22/1948
meletakkan titik berat otonomi pada Desa dan daerah lain setingkat Desa, dengan
dasar pemikiran Pasal 33 UUD 1945.
Segi lain yang membedakan pengaturan
pemerintahan daerah antara UU No. 1/ 1945 dengan UU No. 22/1948 adalah dalam
hal bentuk Pemerintahan di Daerah. UU No. 1/1945 membedakan dua macam bentuk
pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah Otonom dan satuan
Pemerintahan Administratif. Sedangkan UU No. 22/ 1948 hanya mengenal satu macam
bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah
Otonom. Dengan kata lain sistem pemerintahan yang diatur UU No. 22/1948 hanya
sistem pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dan medebewind. Penjelasan
Umum UU No. 22/1948 menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri :
a. Pemerintahan Deerah yang disandarkan pada
hak otonom, dan;
b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada
hak medebewind.
Akan tetapi ide yang terkandung dalam UU
No. 22/1948 tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan atau tidak terwujud
sepenuhnya dalam prakteknya karena pada saat berlakunya UU ini, tentara Belanda
kembali melanjutkan aksi militernya ke-II.
Pada akhirnya dengan tercapainya
persetujuan Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1948, Republik Indonesia hanya
berstatus Negara Bagian yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera
(minus Sumatera Timur) dan Kalimantan, yang karena itu pula UU No. 22/1948 tidak
dapat diberlakukan sepenuhnya di seluruh nusantara. Meskipun demikian, dalam UU
No. 22/1948 setidaknya terdapat beberapa hal-hal pokok sebagai berikut:
·
Cita
"ketunggalan" yaitu untuk semua jenis dan tingkatan daerah
diperlakukan satu UU pemerintahan daerah yang sama. Ini akan memupuk rasa
kesatuan antara daerah-daerah otonom di seluruh Indonesia. Bagi Pemerintah
Pusat sendiri juga memudahkan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang seragam
Pada masa Hindia Belanda dan pendudukkan Jepang terdapat pluralisme dalam
perundang-undangan desentralisasi.
·
Cita
"persamaan" antara cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan luar pulau
tersebut. Ini akan menghilangkan rasa iri hati karena seolah-olah dianak
tirikan yang terdapat pada wilayah di luar Jawa/Madura.
·
Penghapusan
dualisme dalam Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22/1948 dicita-citakan agar
Daerah tidak akan berlangsung terus pemerintahan yang dijalankan oleh pamong
praja.
·
Cita
desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia akan
terdiri atas Daerah-daerah otonom diluar itu tidak ada wilayah yang mempunyai
kedudukkan lain.
·
Pemberian
otonomi dan medebewind yang luas, sehingga rakyat akan dibangunkan inisiatifnya
untuk memajukan Daerahnya.
·
Pemerintahan
Daerah yang demokratis, yaitu susunan aparatur Daerah yang dipilih oleh dan
dari rakyat. Ini akan mendidik rakyat kearah kemampuan memerintah diri sendiri
serta penghargaan terhadap kebebasan dan tanggung jawab.
·
Pemerintahan
kolegial. Soalsoal pemerintahan tidak akan lagi diputuskan oleh seorang tunggal,
melainkan oleh sekelompok orang atas dasar permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan.
·
Cita
mendekatkan rakyat dan Daerah tingkat terbawah dengan pemerintah Pusat. Kalau
pada masa lampau tata jenjang kepamongprajaan dari lapisan terbawah sampai
teratas melalaui tidak kurang dari lima tingkat (desa, kecamatan, kewedanaan,
dan seterusnya), maka susunan Pemerintahan Daerah yang baru hanya mengenal 3
tingkatan Daerah. Ini memudahkan pembinaan dan pembimbingan Daerah tingkat
terbawah oleh Pemerintah Pusat.
·
Cita
pendinamisan kehidupan desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis dengan ini.
Untuk memajukan negara dan memakmurkan rakyat Indonesia, desa harus dijadikan
sendi yang kokoh dan senantiasa bergerak maju. Pada masa lampau desa dan wilayahwilayah
lainnya yang sejenis ditaruh di luar lingkungan pemerintahan modern dan
dibiarkan hidup dalam alamnya sendiri yang statis.
·
Cita
pendemokrasian pemerintahan zelfbesturende landschappen. Kerajaan-kerajaan
warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan bagian
dari wilayah RI yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai
dengan asasasas yang dianut oleh negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi
perubahan ketatanegaraan, dimana Republik Indonesia Serikat menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 131 UUDS 1950, maka bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang didesentralisasikan.
Dengan adanya perubahan ketatanegaraan itu, maka UU No. 22/1948 tidak berlaku
lagi, dan digantikan UU No. 1/1957.
UU No. 1/1957 hanya mengatur tentang
penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah yang didasarkan pada asas
desentralsiasi. Pengaturan demikian sesuai dengan Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS
1950 yang hanya mengenal satu jenis pemerintahan di daerah, yakni Daerah
Otonom. Di samping itu sistem otonomi yang dianut adalah
otonomi riil. Sistem otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor, bakat,
kesanggupan dan kemampuan yang riil dari Daerah-daerah maupun Pusat, serta
bertalian dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi (Pasal 131 ayat
(3) UUDS 1950). Untuk melaksanakan sistem ini, dalam undang-undang pembentukan
Daerah ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat diatur dan diurus oleh
Daerah sejak pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat
pengertian ajaran rumah tangga yang formal dengan metode pekerjaan Daerah yang
hirarkhis.
Dalam Pasal 5 UU No. 1/1957 dengan tegas
disebutkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Dewan Pemerintahan Daerah. Susunan ini serupa dengan UU No. 22/1948, karena
bertujuan sama yaitu mewujudkan Pemerintahan Daerah yang kolegial dan
demokratis. Berbeda dengan keadaan sebelumnya (UU No. 1/1945) bahwa Pemerintah
Daerah itu terdiri dari DPRD (dalam hal ini Komite Nasional Daerah), Dewan
Pemerintahan Daerah dan Kepala Daerah. Susunan Pemerintahan Daerah model UU No.
1/1945 menimbulkan Pemerintahan Daerah yang dualistik.(Laporan penelitian; FH
Unpad;51) Hal ini yang ingin dihilangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957.
Meskipun Kepala Daerah berdasarkan UU No.
1/1957 hanya semata-mata sebagai Kepala Daerah, tetapi tidak berarti dualisme
pemerintahan tidak ada. Jika dalam UU No. 1/1945 dan UU No. 22/1948 dualisme
itu ada pada satu jabatan (dalam diri satu orang) yaitu Kepala Daerah, maka
dalam UU No. 1/1957 dualisme pemerintahan itu ada pada dua orang yang berbeda.
Bidang pemerintahan umum ada ditangan Pamong Praja, sedangkan bidang otonomi
dan tugas pembantuan (medebewind) ditangan Pemerintah Daerah (lihat Penjelasan
Umum Penpres No. 6/1959).
Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
jiwa dan semangat UUD 1945, termasuk ke dalamnya penyesuaian peraturan
perundang-undangan mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam hubungan inilah
ditetapkan Penpres No. 6/1959 sebagai penyempurnaan atas UU No. 1/1957.
Berbagai gagasan dasar dalam UU No. 1/1957 tetap dipertahankan seperti prinsip
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah, termasuk mengenai susunan
Daerah Otonom. Perubahan yang mendasar adalah:
1) Trend memperkokoh
unsur desentralisasi yang digariskan sejak tahun 1948 berganti kearah yang
lebih menekankan pada unsur sentralisasi. Misalnya, pengangkatan Kepala Daerah
lebih ditentukan oleh kehendak pusat dari pada Daerah. Presiden diberi wewenang
mengangkat Kepala Daerah diluar calon yang diajukan oleh Daerah.
2) Kepala Daerah tidak lagi
semata-mata sebagai alat Pusat yang mengawasi Pemerintahan Daerah. Bahkan
secara beransur-ansur Kepala Daerah lebih tampak sebagai Wakil Daerah dari pada
sebagai pimpinan Daerah.
3) Dihapuskannya dualisme
Pememerintahan di Daerah yang memang terasa mengganggu kelancaran
penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah.(Bagir Manan; perjalanan historis;32)
Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk
menyempurnakan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan isi
dan jiwa UUD 1945, tetapi penggerogokan terhadap prinsip-prinsip otonomi, yakni
dengan dikeluarkannya Penpres No. 5/1960. Dimana DPRD hasil pemilihan umum
dibubarkan, dan dibentuk DPRD-GR yang seluruh anggotanya diangkat. Kepala
Daerah menurut Penpres ini adalah Ketua DPRD.
IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH DI ERA ORDE BARU SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG
Walaupun Penpres No. 6/1959 dimaksudkan
untuk menyempurnakan UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan Daerah
dengan Penpres itu sendiri sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945.
Pasal 18 UUD 1945 menghendaki pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah
ditetapkan dengan UndangUndang, dan bukan dengan Penpres. Dalam hubungan inilah
kemudian ditetapkan UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku
untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Satu hal penting dari kelahiran UU No.
18/1965 ialah bahwa secara keseluruhan UU ini meneruskan "politik
otonomi" yang telah diatur dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No.
5/1960, kecuali mengenai hubungan Kepala Daerah dengan DPRD.
Perubahan yang fundamental dari UU No.
18/1965, jika dibandingkan dengan UU terdahulu mengenai organ Pemerintah
Daerah, yaitu :
a) tidak
dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR Daerah oleh Kepala Daerah.
b) dilepaskannya larangan
keanggotaan pada sesuatu partai potik bagi Kepala Daerah dan anggota BPH.
c) tidak lagi
Kepala Daerah didudukan secara konstitutif sebagai sesepuh daerah.
Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur
mengenai pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi,
Kabupaten dan Kecamatan dan sebagaimana halnya dengan istilah Kotaraya,
Kotamadya, dan Kotapraja merupakan istilah teknis, yang dipergunakan
untuk menyebut jenis daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi dan sebagainya itu bukan nama
Daerah Administratif.
Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan
dapat membawa perubahan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai
tertib pemerintahan Daerah di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya
juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang
seluas-luasnya sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS
No.XXI/ MPRS/1966 yang antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965.
Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan,
tetapi dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan
keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang
digariskan GBHN.
Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974
setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh hal yang diutarakan di atas, terutama
berkaitan dengan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah.
Sehingga UU No. 5/1974 menganut prinsip pemberian otonomi kepada Daerah bukan
lagi berupa "otonomi yang seluas-luasnya", melain "otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab".
Satu sisi yang amat penting dari UU No.
5/1974 adalah bawah UU ini tidak semata-mata mengatur pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi (otonomi dan tugas pembantuan), tetapi juga
dekonsentrasi.
Ditinjau dari sudut pola hubungan antara
Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang sama dengan pola yang
dirintis dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol
dari unsur desentralisasi. Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada
Daerah, UU No. 5/1974 meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah
Kabupaten/Kotamadya.
Dari pengaturan mengenai Pemerintahan
Daerah dalam berbagai undang-undang sebagaimana telah diutarakan maka dapat
dikemukakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memperlihatkan
perbedaan-perbedaan baik sistem otonominya maupun corak pemerintahannya.
Meskipun undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar penyusunanan yang sama
yakni Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957)..
UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama
puluhan tahun (1974-1999) boleh disebut sebagai undang-undang pemerintahan
daerah yang paling lama berlakunya dibanding undang-undang yang pernah ada
sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun 1974 itu yang begitu lama berlaku tentu
saja sangat berpengaruh bagi keberadaan daerah otonom di Indonesia, meskipun
dalam perjalanannya kemudian digugat sebagai pengaturan bagi daerah otonom,
namun nuansa sentralisasi lebih kuat atau sangat dominan dibanding nuasa
desentralisasinya. Keberadaan undang-undang No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami
oleh banyak kalangan sebagai undang-undang yang erat kaitannya dengan
pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan otoriter. Tetapi apa pun itu,
suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No 5 Tahun 1974 telah memberikan
warna dan pengaruh yang kuat terhadap karakteristik pemerintahan daerah dan
penyelengaraannya, termasuk terhadap para penyelenggaranya. Salah satu dampak
yang sampai saat ini masih bisa dilihat adalah lemahnya inisiatif daerah
(pemerintah daerah) dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai
inti dari otonomi daerah.
IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH DI ERA REFORMASI SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG
Bergulirnya era reformasi di tahun 1998,
dimana soal otonomi daerah menjadi salah satu tuntutan pokok dari reformasi.
Alhasil dari tuntutan reformasi itu lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus
mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5 Tahun 1974 yang sangat sentralistik
.
Perubahan akan otonomi daerah
terlihat jelas dari petimbangan UU No.22 Tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi
dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan,
sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu
dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar
secara panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.
Apabila
dicermati UU No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta
sekaligus sebagai perbedaan yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975. Hal
ini antara lain;
Pertama, dipisahkannya dengan tegas
antara Kepala Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan
DPRD tercakup dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999
ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar
daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah
Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya
antara Kepala Daerah dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”,
sehingga ada kerancuan DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.
Kedua, ditempatkannya Otonomi
Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada
lagi daerah administrative atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan
wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.
Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi
dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang
melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur.
Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.
Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Kelima, berdasarkan UU No.22/1999
pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan
kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas
dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.
Keenam, Kepala Daerah bertanggung
jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak
pertantanggungjawaban Kepala Daerah.
Ketujuh, adanya pembagian kewenangan
yang tegas antara Propinsi dengan Kabupaten Kota.
Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur
maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah
diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.
Beberapa
hal yang dikemukakan di atas hanya sebagian saja dari perbedaan yang
fundamental penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari
dianutnya asas desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada
banyak hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi
daerah dari UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini
diperkenalkannya otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU
No.5/1974 hanya dikenal Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan
mendasar dengan otonomi khusus.
Singkat
kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974
harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah baru bagi penyelenggaraan
otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala dinamikanya terlihat jelas
di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi daerah yang meningkat luar
biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak diduga sebelumnnya dan
kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan untuk merevisi UU
No.22/1999.
Gagasan
untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni dengan
diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru
beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada
“selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004
diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR
dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih
cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada
penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa
ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari kedua
UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai;
“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah
Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Rumusan
terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak
demikian halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari
perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU
No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang
mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa
memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu
undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No
32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam
UU No 5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan; “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dengan
adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004
tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam
UU No 5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu
terseret arus politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya
gerakkan menjauh dari makna pemberian otonomi kepada daerah yang utamanya untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh lebih cenderung
dibangun dibawah kepentingan politik dan kekuasaan.
IMPLEMENTASI YANG SESUAI DENGAN
UNDANG-UNDANG
Sejak masa orde
lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu
melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf
hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang berdasarkan pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ini dilaksanakan secara
berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih
baik dari sebelumnya. Pembangunan yang digalakkan ini diartikan sebagai proses
multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur
ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi
ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro
dalam Sirojuzilam, 2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu
mengakomodasi berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual
dan dilakukan secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan
masyarakat.
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan
rentang geografis yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang
beragam, jumlah penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses
pengalokasian pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara
Indonesia. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit
mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan
atau penataan
pemerintahan
maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara
efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Pada
tahun-tahun mendatang, soal otonomi daerah belum akan berakhir dan masih akan
dihadapkan pada situasi seperti yang terjadi selama ini. Bahkan beberapa waktu
belakangan kembali bergulir ide dan gagasan untuk mengganti atau merevisi
(merubah) UU No 32 Tahun 2004. Dampaknya jelas, pemerinatahan yang kuat dan
stabil seperti masih merupakan sesuatu yang jauh dari harapan. Dalam konteks
ini, adalah suatu yang mustahil mengharapakan adanya pemerintahan daerah yang
kuat dan mempu dengan optimal mewujudkan masyarakat daerah yang sejahtera bila sistem dan
model pemerintahan selalu
berganti-ganti tiap sebentar.
Memang ini yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, karena soeharto hanya terfokus dan terpusat di pulau jawa saja, kami di maluku dan papua sangat sedikit mendapatkan "kue pembangunan" oleh karena itulah mencari info beasiswa untuk dapat hengkang ke luar negeri dan ganti kewarganegaraan
BalasHapus===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===
BalasHapusPakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128 Agens128
Wih mantep nih kak pengetahuan sejarahnya! Ekstensif.com
BalasHapusAwww thank you! I really appreciate your response! Semoga ya bisa terus nulis tiap bulan hehe. Makasih makasih
BalasHapusPaket Wisata Kawah Ijen
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspembahasan yang lugas, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
BalasHapus