PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG.
Didalam
menjalankan pemerintahan, Pemerintah telah dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan baik yang bersifat atributif maupun yang bersifat
delegatif. Dengan adanya perkembangan masyarakat, maka seringkali terdapat
keadaan-keadaan tertentu yang sifatnya mendesak yang membuat
Pejabat/Badan`Administrasi pemerintahan tidak dapat menggunakan kewenangannya
khususnya kewenangan yang bersifat terikat (gebonden bevoegheid) dalam melakukan tindakan hukum dan tindakan
faktual secara normal.Sebagai Negara yang bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum, melekatnya fungsi memajukan kesejahteraan umum dalam welfare state (Negara kesejahteraan)
menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu
pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan social ekonomi
masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan tanggung jawab bestuurszorg atau public service.
Dengan
adanya kewenangan diskresi ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang
oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan kedalam tangan
pemerintah/administrasi Negara sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan
legislative diganti pleh supremasi badan eksekutif (Siti Soetami, 2000:46),
karena administrasi Negara melakukan pennyelesaian masalah tanpa harus menunggu
perubahan Undang-Undang dari bidang legislatif (Diana Halim Koentjoro,2004:42).
Hal tersebut karena pada prinsipnya Badan/Pejabat administrasi pemerintahan
tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alas an
hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal
tersebut masih menjadi kewenangannya.
Sebagai
bagian dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat, kewenangan pembuatan kebijakan melekat pada jabatan pemerintahan
(inherent aan het bestuur) yang dijalankan oleh pejabat pemerintahan, dan
ternyata telah menyebabkan banyak pejabat yang menjadi tersangka bahkan
terpidana. Disisi lain, dianut suatu pendapat bahwa kebijakan pemerintah itu
tidak dapat dipersoalkan secara hukum. Arifin
P. Soeria Atmadja mengatakan, “suatu kebijakan tidak mungkin
diajukan kepengadilan apalagi dikenakan hukum pidana karena dasar hukum
kebijakan yang akan menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada. Hal ini
disebabkan suatu kebijakan pada umumnya berjalan tidak seiring atau belum
diatur dalam peraturan perundang-undangan” (Arifin P Soeria Atmadja:2008:198).
Jika
dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum,
namun ternyata dalam praktek yang selama ini terjadi pembuat kebijakan diproses
secara hukum dan ditetapkan sebagi tersangka bahkan terpidana. Hal ini
menimbulkan pertanyaan Dalam hal apa tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi diterapkan dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintahan? Serta apakah
ada batasan norma hukum yang dapat diterapkan terhadap kebijakan pemerintahan?
1.2 Rumusan Masalah
·
DEFINISI DISKRESI SEBAGAI WEWENANG KEBEBASAN
BERTINDAK ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN/KEBIJAKAN
·
VALIDITAS DISKRESI DAN BATAS-BATAS PENGGUNAANNYA
·
TANGGUNG JAWAB PEGAWAI PEMERINTAHAN
1. 3. Tujuan penulisan
Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memberikan informasi mengenai
apa saja kebebasan bertindak administrasi penerintahan
dalam mengambil suatu keputusan/kebijakan dan mengetahui batas-batas wewenang
administrasi pemerintahan.
1. 4.Metode Penulisan
Penulis
menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan menyaring, dan menganalisis
data-data yang telah didapat baik dari buku maupun dari situs internet.
BAB
I
DEFINISI
DISKRESI SEBAGAI WEWENANG KEBEBASAN BERTINDAK ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM
MENGAMBIL KEPUTUSAN/KEBIJAKAN
Menurut
Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap
situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut Rancangan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Draft bulan Juli 2008 didalam pasal 6
mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan atau
badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil
tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
Ada
beberapa pakar hukum yang memberikan definisi tentang diskresi, diantaranya: S. Prajudi Atmosudirjo (1994:82)
yang mendefinisikan diskresi, discretion
(Inggris), discretionair(Perancis),
freies ermessen (Jerman)
sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat
administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri.
Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas
legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum yang
menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus
berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Akan
tetapi tidak mungkin bagi Undang-Undang untuk mengatur segala macam kasus
posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya
kebebasan atau diskresi administrasi Negara yang terdiri atas diskresi bebas
dan diskresi terikat. Pada diskresi bebas, Undang-Undang hanya menetapkan
batas-batas dan administrasi Negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan
tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut, sedangkan pada diskresi
terikat, Undang-Undang menetapkan bebarapa alternatif keputusan dan
administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif keputusan yang
disediakan oleh Undang-Undang.
Indroharto (1993:99-101)
menyebut wewenang diskresi sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang yang
tidak mewajibkan badan atau pejabat tata usaha Negara menerapkan wewenangnya,
tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-hal tertentu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan dasarnya. Sedangkan Sjachran Basah (1997:3) mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya
haruslah tindakan-tindakan administrasi Negara itu sesuai dengan hukum,
sebagaimana telah ditetapkan dalam Negara hukum berdasarkan Pancasila.
Lebih
lanjut Diana Halim Koentjoro (2004:41)
mengartikan freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi Negara
atau pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam
keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah
itu belum ada. Sedangkan Esmi Warassih
(2005:138-139), mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri
untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada, terutama di dalam
mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik. Dengan adanya diskresi ini
diharapkan agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai suatu hasil atau tujuan
yang maksimal.
Berdasarkan
doktrin-doktrin hukum tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
hakekatnya diskresi merupakan kebebasan bertindak atau kebebasan mengambil
keputusan dari Badan atau Pejabat administrasi pemerintahan menurut pendapatnya
sendiri sebagai pelengkap dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak
mampu menyelesaikan permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bias
karena peraturannya memang tidak ada atau karena peraturan yang ada yang
mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas.
Asas Legalitas (legaliteitsbeginsel) dikenal dalam
hukum pidana dan hukum islam, namun asas legalitas yang dimaksud dalamn tulisan
ini adalah konteks Hukum administrasi, yakni het beginsel van wetmatigheid van bestuur atau asas keabsahan
dalam pemerintahan.
Asas legalitas ini
dianggap sebagai dasar terpenting dari Negara hukum (al seen van belangrijkste fundamentenvan de rechtsstaat) (L.J.A.Damen,et.al.2005:52),
dan mengandung arti bahwa pemerintah hanya dapat melakukan tindakan berdasarkan
kewenangan yang diberikan dan dibatasi oleh undang-undang, “het bestuur kan allen op basis van door de
wet toegekende en afgebakende bovoegdheden handelen” (H.D.Stout:1994:33).
Meskipun asas
legalitas itu dianggap sebagai prinsip terpenting dari Negara hukum, namun
mendasarkan setiap tindakan pemerintahan dibidang publik pada asas legalitas
atau hukum tertulis sebenarnya bukan tanpa masalah. Hal ini karena, menurut Bagir Manan, adanya cacat bawaan (natural defect) dan cacat buatan (artificial defect) dari peraturan
perundang-undangan sebagai suatu bentuk hukum tertulis.
Sebagai ketentuan
tertulis (written rule) atau
hukum tertulis (written law)
peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas – sekedar moment opname dari unsur-unsur
politik, ekonomi, social, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan, karena itu mudah sekali bila dibandingkan dengan perubahan
masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat (Bagir Manan dan Kuntana Magnar,
1987:16).
Disamping itu, hal
lain yang kerap munculkan masalah dalam penerapan asas legalitas adalah
struktur norma hukum publik yang akan dijadikan dasar bagi tindakan
pemerintahan. Berbeda dengan struktur norma hukum pidana atau perdata, struktur
norma hukum publik khususnya Hukum Administrasi itu sifatnya berantai dan
bertingkat. Artinya terhadap suatu urusan pemerintahan itu normanya tidak hanya
terdapat dalam suatu undang-undang atau peraturan daerah tetapi bertebaran
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seorang pejabat yang akan
melakukan tindakan hukum tertentu dituntut untuk mengkaji semua peraturan perundang-undangan
terkait.
Guna
mengantisipasi persoalan tersebut kepada pemerintah diberikan freies Ermessen atau diskresi, yakni
kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan social (E. Utrecht, 1988:30). Dengan kata
lain, freies Ermessen merupakan
salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan
administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya
pada undang-undang (Markus Lukman,1996:205).
Ketika
freies ermessen atau diskresi
ini dituangkan dalam bentuk tertulis, ia menjadi peraturan kebijakan, yakni
peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan
pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga Negara atau terhadap instansi
pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang
tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.
Artinya, peraturan
kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh
karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum
tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi Negara
dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya (P.J.P.Tak, 1991:129). Dalam hal
ini, peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah sarana hukum tata usaha Negara
yang bertujuan mendinamisir keberlakuan peraturan perundang-undangan (Laica
Marzuki,1996:9).
BAB
II
VALIDITAS
DISKRESI DAN BATAS-BATAS PENGGUNAANNYA
Adalah sesuatu
yang tak bias dipungkiri bahwa pemberian diskresi kepada pemerintah merupakan
sebuah kemestian, seiring dengan munculnya konsepsi Negara kesejahteraan
(welfare state) menjelang perang dunia kedua, dan sejalan dengan kelemahan atau
keterbatasan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan diatas, serta
sesuai dengan dinamisnya kegiatan pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan
publik ditengah masyarakat yang berkembang pesat. Konsepsi Negara ini
menempatkan pemerintah selaku pihak yang berkewajiban mewujudkan kesejahteraan
social, yang dalam rangka itu pemerintah banyak terlibat dengan kehidupan
ekonomi dan social warga Negara.
Meskipun
pemberian diskresi kepada pemerintah itu merupakan kemestian dalam suatu Negara
hukum, namun penggunaan diskresi itu bukan tanpa batas. Rambu-rambu dalam
penggunaan diskresi dan pembuatan kebijakan pemerintah berdasarkan Hukum
Administrasi Negara adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB),
khususnya asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan asas larangan sewenang-wenang (willekeur). Dengan kata lain,
kebijakan pemerintah akan
dikategorikan sebagai kebijakan yang menyimpang jika didalamnya ada unsur
sewenang-wenang. Selain itu kebijakan dianggap menyimpang jika bertentangan
dengan kepentingan umum.
Ada tidaknya unsur
penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas (specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa wewenang
itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu (L.J.A.Damen,
2005:57). Jika menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan wewenang.
Unsur
sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu kebijakan
dikategorikan mengandung unsur willekeur
jika kebijakan itu nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk onredelijk).
Rancangan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Draft bulan Juli 2008 dalam pasal 6
ayat (1) memberi batasan terhadap diskresi dengan menyebutkan bahwa Pejabat
pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang menggunakan diskresi dalam
mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi itu sendiri,
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Selanjutnya ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa
penggunaan diskresi wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat atasannya dan
masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil serta
dapat diuji melalui upaya administrative atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan tersebut berarti bahwa Rancangan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan
ketentuan tersebut
berarti bahwa Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bukan hanya
akan member batasas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat administrasi
Pemerintah akan tetapi juga mengatur mengenai pertanggungjawaban Badan/Pejabat
Administrasi Pemerintahan terhadap penggunaan diskresi yang tidak hanya
bersifat pasif dalam arti menunggu adanya gugatan dari masyarakat melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara akan tetapi juga bersifat aktif dengan adanya
kewajiban mempertanggungjawabkan penggunaan diskresi kepada Pejabat atasannya
mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada
kewenangan yang menjadi dasar adanya diskresi itu sendiri. Tetapi yang
disayangkan adalah meskipun Pasal 6 RUU Administrasi Pemerintahan telah
mengatur tentang kewajiban melaporkan tindakan diskresi kepada atasan dalam
bentuk tertulis dengan memberikan alas an-alasan pengambilan keputusan
diskresi, namun apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan tidak ada
sanksinya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan Badan/Pejabat Administrasi
Pemerintahan yang menerbitkan keputusan diskresi berdalih bahwa keputusan yang
diambilnya bukan keputusan diskresi ataupun berdalih ia tidak tahu bahwa
keputusan yang diambilnya adalah keputusan diskresi.
Walaupun demikian
paling tidak dengan akan dijadikannya batas-batas penggunaan diskresi sebagai
suatu norma yang mengikat, maka hal tersebut sudah cukup untuk menghindari
dilaksanakannya penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang (willekeur) oleh Badan/Pejabat Administrasi Pemerintahan, sebab
tujuan utama dari normatifisasi adalah menciptakan dan menjadikan Hukum
Administrasi Negara menunjang kepastian hukum yang member jaminan dan
perlindungan hukum baik bagi warga Negara maupun administrasi Negara (Rusli K
Iskandar dalam SF Marbun dkk, 2001:87).
Berdasarkan hal
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan kewenangan diskresi oleh
Badan/Pejabat administrasi pemerintahan hanya dapat dilakukan dalam hal
tertentu dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mengaturnya
atau karena peraturan yang ada yang mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas
dan hal tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak demi kepentingan umum
yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
BAB
III
TANGGUNG
JAWAB PEGAWAI PEPEMERINTAHAN
Untuk
mengetahui siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, terlebih dahulu perlu dikemukakan
tentang jabatan pemerintahan yang dilekati fungsi dan kewenangan pemerintahan.Tugas
dan wewenang yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke
persoon), yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau
pejabat (F.R.Bothlingk,1954:32).
Setiap
penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab, sesuai
dengan prinsip “deen bevoegdheid
zonder verantwoordenlijkheid” (tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam
implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan,
maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan
harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung
jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.
a.
Tanggungjawab Jabatan
Berdasarkan
ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan wewenang, karena pejabat
tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan.
Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan
bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan
kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Hak dan Kewajiban
berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat (Logemann, 1958:89).
Karena kewenangan itu melekat pada jabatan, sementara tanggungjawab dalam
bidang publik itu terkait dengan kewenangan, maka beban tanggungjawab itu pada
dasarnya juga melekat pada jabatan.
Tanggungjawab
jabatan ini berkenan dengan keabsahan tindakan hukum pemerintahan yang
dilakukan oleh pejabat untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R.
Bothlingk, baik wakil maupun yang diwakili adalah pelaku, namun tidak
berarti bahwa keduanya mempunyai tanggung jawab. Berkenan dengan perbuatan
hukum, jawabannya jelas. Perbuatan hukum adalah pernyataan kehendak dan
tanggung jawab secara khusus tertuju kepada pihak yang kehendaknya dinyatakan,
yakni pihak yang diwakili. Wakil tidak menyatakan kehendaknya sendiri, karena
itu meletakan tanggung jawab kepadanya tidak pada tempatnya (F.R.Bothlingk:
1954:137).
Meskipun
kewenangan itu melekat pada jabatan yang membawa konsekwensi melekatnya
tanggung jawab pada jabatan yang bersangkutan, namun dapat saja dalam
pelaksanaan kewenangan itu tanggung jawabnya dibebankan kepada pribadi (in
persoon) pejabat.
b.
Tanggungjawab Pribadi
Tanggung
jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun
public service. Seorang pejabat
yang melaksanakan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan akan
dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tindakan maladministrasi.
F.R.Bothlingk mengatakan bahwa
pejabat atau wakil itu bertanggung jawab sepenuhnya, ketika ia menyalahgunakan
situasi dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri terhadap kepentingan pihak
ketiga (F.R.Bothlingk, 1954:142). Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap
pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau
dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan tindakan
maladministrasi.
Maladministrasi
berasal dari bahasa Latin malum (jahat,
buruk, jelek) dan administrare (to
manage, mengurus, atau melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau
pengurusan yang buruk atau jelak. Berdasarkan pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah
“ Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang
perseorangan”.
Dalam
panduan investigasi untuk Ombudsman Republik, disebutkan dua puluh macam
maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan (berlarut-larut), tidak
menangani, melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme,
bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan, pelanggaran
undang-undang, perbuatan melawan hukum, diluar kompetensi, tidak kompeten,
intervensi, penyimpangan prosedur, bertindak sewenang-wenang, penyalahgunaan
wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi,
penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
didalamnya ada unsure maladministrasi dan merugikan warga Negara, tanggung
jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan
tindakan maladministrasi tersebut.
Diatas
telah disebutkan bahwa UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan peraturan
pelaksanaannya menganut teori tanggung jawab jabatan, namun dalam
perkembangannya, khususnya setelah perubahan UU PTUN No 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No 5 Tahun 1986, dianut pula tanggung jawab pribadi.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (4) UU No 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”, dan dalam
ayat (5) disebutkan bahwa “Pejabat yang tidak melaksanakanputusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat
oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)”. Dalam penjelasannya tidak disebutkan apakah ketentuan Pasal 116 ayat (4)
dan (5) ini merupakan tanggung jawab jabatan atau pribadi, namun jika dicermati
dari latar belakang dan semangat perubahan undang-undang ini tampak bahwa
ketentuan pasal ini dimaksudkan sebagai tanggung jawab pribadi. Dengan
demikian, UU PTUN saat ini menganut tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi. Adapun kapan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi itu
diterapkan, tergantung pada dalam hal apa dan bagaimana perbuatan atau tindakan
pemerintahan itu dilakukan.
BAB
IV
KESIMPULAN
Konsep Negara
hukum dalam era modern, menunjuk pemerintah sebagai pelaksana kebijaksanaan
yang merupakan suatu keharusan bagi pemerintah dalam hal melaksanakan
pembatasan terhadap undang-undang dan sesuai dengan kegiatan pemerintah dalam
melakukan pelayanan publik ke masyarakat yang progresif. Namun dalam
menggunakan kebijaksanaan tidak diperbolehkan bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, khususnya asas larangan penyalahgunaan wewenang
dan asas larangan sewenang-wenang. Selain itu juga tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum.
Penyimpangan
terhadap penggunaan diskresi dapat diuji melalui peradilan dan pembuat
kebijakan akan dibebani tanggung jawab. Ada dua bentuk tanggung jawab, yakni
tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan
terjadi ketika pembuat kebijakan menggunakan diskresi untuk dan atas nama
jabatan, sedangkan tanggung jawab pribadi diterapkan dalam hal pembuat
kebijakan melakukan tindakan maladministrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Amarullah Salim, Perbuatan Melawan Hukum Yang
dilakukan oleh Penguasa Menurut Hukum Perdata Beserta Masalah Ganti Rugi, Bahan
Kuliah Pekan Orientasi dan Penataran Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, 1994
·
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisa Yuridis
Normatif tentang Unsur-Unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995.
·
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam
Perspektif Hukum; Teori, Kritik, dan Praktik, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
·
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan
Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung
1987.
·
Peranan Hukum Administrasi Negara dalam
Pembentukan Peraturan perundang-Undangan, Makalah pada Penataran Nasional Hukum
Acara dan Hukum administrasi Negara, Fakultas Hukum Unhas, Unjung Pandang,
1996.
·
E. Utrecht, Pengantar
Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988.
Pengakuan tulus dari: FATIMAH TKI, kerja di Singapura
BalasHapusSaya mau mengucapkan terimakasih yg tidak terhingga
Serta penghargaan & rasa kagum yg setinggi-tingginya
kepada KY FATULLOH saya sudah kerja sebagai TKI
selama 5 tahun Disingapura dengan gaji Rp 3.5jt/bln
Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Apalagi setiap bulan Harus mengirimi Ortu di indon
Saya mengetahui situs KY FATULLOH sebenarnya sdh lama
dan jg nama besar Beliau
tapi saya termasuk orang yg tidak terlalu yakin
dengan hal gaib. Karna terdesak masalah ekonomi
apalagi di negri orang akhirnya saya coba tlp beliau
Saya bilang saya terlantar disingapur
tidak ada ongkos pulang.
dan KY FATULLOH menjelaskan persaratanya.
setelah saya kirim biaya ritualnya.
beliau menyuruh saya untuk menunggu
sekitar 3jam. dan pas waktu yg di janjikan beliau menghubungi
dan memberikan no.togel "8924"mulanya saya ragu2
apa mungkin angka ini akan jp. tapi hanya inilah jlnnya.
dengan penuh pengharapan saya BET 200 lembar
gaji bulan ini. dan saya benar2 tidak percaya & hampir pingsan
angka yg diberikan 8924 ternyata benar2 Jackpot….!!!
dapat BLT 500jt, sekali lagi terima kasih banyak KY
sudah kapok kerja jadi TKI, rencana minggu depan mau pulang
Buat KY,saya tidak akan lupa bantuan & budi baik KY.
Demikian kisah nyata dari saya tanpa rekayasa.
Buat Saudaraku yg mau mendapat modal dengan cepat
~~~Hub;~~~
Call: 0823 5329 5783
WhatsApp: +6282353295783
Yang Punya Room Trimakasih
----------