Melihat Wajah Otonomi Daerah Dalam
Pemekaran Wilayah Kalimantan Timur
Diketahui bahwa otonomi daerah di Indonesia secara
yuridis, pragmatis dan
teoritis sistem pemerintahan otonomi daerah telah menjadi pilihan mutakhir
bagi negeri dengan keragaman geografis, perbedaan kemampuan SDM dan
perbedaan kebudayaan dan sejarah. Bahkan laporan Bank Dunia mengatakan
bahwa Otoda sudah diadopsi dan diaplikasikan di 95% negara negara anggota
PBB. Secara akademis Otoda dipercaya sebagai obat mujarab bagi penyakit
pemerintahan.
teoritis sistem pemerintahan otonomi daerah telah menjadi pilihan mutakhir
bagi negeri dengan keragaman geografis, perbedaan kemampuan SDM dan
perbedaan kebudayaan dan sejarah. Bahkan laporan Bank Dunia mengatakan
bahwa Otoda sudah diadopsi dan diaplikasikan di 95% negara negara anggota
PBB. Secara akademis Otoda dipercaya sebagai obat mujarab bagi penyakit
pemerintahan.
Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik LIPI
menunjukkan penerapan otonomi daerah di Indonesia gagal. Pemerintah harus
mendorong reformasi birokrasi untuk memperbaiki kebijakan yang sebenarnya berpihak
kepada rakyat ini.Praktik otonomi daerah gagal dalam mewujudkan tujuannya.
Indikatornya adalah rendahnya pelayanan publik dan masih banyaknya penduduk
miskin yakni 32,7 juta pada tahun 2010. masalah susahnya aplikasi otonomi
daerah secara benar dikarenakan tidak jelasnya strategi penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia. Kemacetan otonomi daerah disebabkan karena selama ini
semua agenda dan kebijakan tidak didukung dengan grand design yang jelas.
Sembilan tahun sejak dicanangkan otonomi daerah pada Januari 2001 ternyata melahirkan dua wajah daerah pemekaran Kaltim, daerah berpotensi maju dan daerah berpotensi mundur. Daerah potensi maju ditunjukkan dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung positif, sedangkan daerah potensi mundur terlihat dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung negatif atau melambat.
Sembilan tahun sejak dicanangkan otonomi daerah pada Januari 2001 ternyata melahirkan dua wajah daerah pemekaran Kaltim, daerah berpotensi maju dan daerah berpotensi mundur. Daerah potensi maju ditunjukkan dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung positif, sedangkan daerah potensi mundur terlihat dari pertumbuhan indeks sosial ekonomi yang cenderung negatif atau melambat.
Kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur menjadi
contoh menarik bagi dua model daerah ini. Kabupaten Kutai, yang setelah mekar
berubah nama menjadi Kutai Kartanegara, adalah daerah berpotensi mundur.
Padahal, Kabupaten Kutai Kartanegara dan tiga daerah pemekarannya (Kutai Timur,
Kutai Barat, dan Kota Bontang) termasuk wilayah paling kaya di Indonesia.
Salah satu indikatornya, nilai kegiatan ekonomi keempat wilayah
tersebut. Kegiatan ekonomi keempat daerah ini sedemikian besar sehingga jika
disatukan nilainya jadi Rp 205 triliun, atau 65 persen dari kegiatan
perekonomian provinsi Kaltim atau 4,1 persen dari PDB nasional! Bandingkan itu
dengan nilai kegiatan ekonomi Kabupaten Bulungan dengan empat daerah
pemekarannya (Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan) hanya membukukan
Rp 12 triliun, jauh di bawah nilai yang diperoleh wilayah Kutai dan
pemekarannya.
Daerah
berpotensi mundur
Sudah menjadi pengetahuan umum, wilayah Kutai dianugerahi berbagai
sumber daya berlimpah, mulai dari kayu hutan, minyak dan gas, kelapa sawit,
hingga—kini—batu bara. Sejak masa Orde Baru berkuasa, wilayah ini sudah menjadi
lahan tambang uang bagi negara. Saat ini, dengan segala cerita kerusakan lingkungan
dan penderitaan turunannya, konsesi pertambangan batu bara besar-kecil
bertebaran di seantero wilayah Kutai. Namun, di tengah berkelimpahannya sumber
daya itu, ada kecenderungan daerah ini justru memiliki potensi kemunduran
dilihat dari indeks sosial ekonominya (lihat peta).
Tidak terlalu sulit bagi awam menemukan simptom persoalan wilayah
ini. Dalam perjalanan sepanjang Bontang-Sangatta, di kiri kanan jalan hanya
terhampar padang ilalang dan tegakan-tegakan pohon yang hangus terbakar.
Memasuki Sangatta, ibu kota Kutai Timur, tim Kompas menemui suasana kota yang
panas dan berdebu. Dari salah satu gardu pandang milik PT Kaltim Prima Coal
(KPC), terlihat deru truk besar lalu lalang mengangkut batu bara. Demikian
juga saat
memasuki wilayah Taman Nasional Kutai, Kota Bontang, hamparan hutan dengan
pohon-pohon besar selayaknya sebuah taman nasional tak ditemui.
Jajak pendapat yang dilakukan terhadap 365 responden di 14 kabupaten
kota di Kaltim juga mengungkap kecenderungan ketidakpuasan responden yang berdomisili
di Kutai Kartanegara dan Bontang dibandingkan mereka yang berwilayah di
perkotaan lainnya. Program peningkatan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
memang baru dapat dirasakan oleh segelintir penduduk, terutama daerah
perkotaan, seperti Samarinda, Balikpapan, Tarakan, dan Bontang. Pada jarak
sekitar 65 kilometer dari Sangatta, di Desa Tepian Langsat dan Keraitan, sama
sekali belum terjamah aliran listrik. Kalaupun ada listrik, itu adalah genset
swadaya masyarakat. Demikian pula masalah pendidikan SDM yang menjadi momok
karena banyaknya penduduk lokal yang belum dapat diserap oleh perusahaan
perkebunan ataupun pertambangan.
Karakter industri pertambangan batu bara yang padat modal dan
keahlian membuat kebanyakan pemuda lokal menjadi sekadar pekerja kasar, seperti
sopir, operator, atau buruh. Sementara tenaga ahli ataupun tenaga administrasi
kebanyakan didatangkan dari luar Kalimantan, terutama Jawa. Wilayah ini
bukannya tak memerhatikan kemajuan wilayah. Di bawah kepemimpinan H Syaukani
Hasan Rais, mantan bupati Kabupaten Kutai Kartanegara, pernah digelontorkan
modal besar didukung program komprehensif berupa Gerakan Pengembangan dan
Pemberdayaan Kutai (Gerbang Dayaku). Program ini terkenal dengan suntikan dana
sebesar Rp 1 miliar-Rp 2 miliar ke setiap desa di Kutai Kartanegara.
Daerah
berpotensi maju
Pemandangan terlihat berbeda ketika Kompas memasuki Kota Tarakan.
Kota ini merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Bulungan yang
kebetulan memang sudah menjadi wilayah otonom sejak tahun 1997. Penataan kota
tampak rapi, bersih, ditambah taman kota yang dilengkapi fasilitas modern,
seperti area bersinyal (hotspot), hutan kota sebagai tempat serapan air, dan
hutan mangrove yang berfungsi sebagai paru-paru kota yang bahkan dihuni oleh
20-an bekantan (sejenis kera besar).
Kenyamanan kota terasa hingga saat malam hari. Di provinsi yang
masih mengalami defisit pasokan listrik ini, penerangan jalan Kota Tarakan
sangat memadai. Setiap sudut kota ada terang benderang untuk menunjang kegiatan
bisnis. Maklum, konon ini juga peninggalan Jusuf SK, mantan Wali Kota Tarakan
periode 1998-2009 yang dijuluki ”Wagilam, Walikota Gila Lampu”.
Sulit disangkal, Kabupaten Bulungan merupakan contoh kabupaten induk
dan wilayah pemekaran yang berpotensi maju. Sebagian wilayah belum lama mekar
seperti Kabupaten Kabupaten Tana Tidung yang baru otonom tahun 2007. Hal ini
diperkuat juga dengan gambaran pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia tahun
2002-2008 di mana pertumbuhan IPM Kabupaten Kutai Kartanegara (6,2 persen)
masih kalah cepat dibanding Kabupaten Bulungan (6,9 persen). Dilihat dari nilai
setiap wilayah, Bulungan mampu bergerak lebih cepat dibanding wilayah Kutai.
Pertumbuhan IPM wilayah Bulungan yang meliputi Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana
Tidung, dan Kota Tarakan berkisar 5,1-12,8 persen. Sedangkan wilayah Kutai yang
meliputi Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kota Bontang yang
berkisar 4,8-7,1 persen.
Indikator lainnya yang bisa digunakan untuk melihat perbandingan
kinerja aparat birokrasi daerah adalah perbedaan hasil opini Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) terhadap wilayah tersebut. Terhadap laporan APBD tahun 2008
Kabupaten Kutai Kartanegara, BPK tidak memberikan pendapat (TMP) atau dianggap
disclaimer sebagaimana terhadap Kabupaten Kutai Timur. Adapun untuk Kabupaten
Kutai Barat dinilai tidak wajar (TW) dan Kota Bontang dinilai wajar dengan
pengecualian (WDP). Bandingkan penilaian ini dengan wilayah Bulungan. BPK
memberikan penilaian wajar dengan pengecualian terhadap Kabupaten Nunukan dan
Kota Tarakan. Sedangkan terhadap Kabupaten Bulungan dan Malinau dinilai tidak
wajar APBD tahun 2008.
Penilaian itu berdasarkan tiga hal, yaitu kelemahan sistem
pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan,
dan nilai penyerahan aset. Aspek sistem pengendalian internal terbagi menjadi
akuntansi dan pelaporan, pelaksanaan APBD, dan kelemahan struktur pengendalian
internal. Kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Kutai Timur (15 kasus), Kutai
Barat (9 kasus), dan Kutai Kartanegara (8 kasus).
Wilayah Bulungan sebagian besar merupakan daerah pedalaman dengan
batas garis perbatasan dengan negara Malaysia. Karena infrastruktur lebih bagus
di Malaysia, penduduk setempat lebih sering berkunjung ke ”seberang”. Bahkan,
penduduk di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, lebih banyak bertransaksi dengan
mata uang ringgit. Karena merasa kurang diperhatikan, konon menjadi pemicu
munculnya keinginan pembentukan provinsi baru, Kalimantan Utara.
Pendidikan
diutamakan
Di sisi lain, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan
tampaknya diutamakan oleh wilayah Bulungan. Contohnya terlihat di Kota Tarakan,
di mana pembangunan sebuah sekolah bisa menelan dana Rp 20 miliar. Eloknya,
semua bangunan sekolah dirancang nyaman dan modern berkonstruksi dua lantai.
Otonomi daerah
adalah suatu proses pembelajaran yang terus-menerus bagi seluruh pemangku
kepentingan di Kaltim.
warna tulisan atau backgroundnya mungkin bisa di ganti, karena ssh d baca..
BalasHapus