KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa .karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyusun makalah ini. Adapun materi yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah mengenai Analisis Biaya Transaksi Dan Korupsi Dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia.
Semoga segala
upaya kami dalam membuat makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya,
terima kasih.
SAMARINDA,
20 Februari 2013
wahyu desambodo
BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis
internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi
hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi
kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain
pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi,
harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak
hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis
terutama yang berdimensi internasional.
Menjamurnya
praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia sangat
ironis dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga
pemerintahan seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM
seperti MTI dan ICW. Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan
korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi.
RUMUSAN MASALAH
1. Biaya
Transaksi
2. Biaya
Transasksi Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia
3. Korupsi
4. Pentingnya
Pemberantasan Korupsi Dalam Memajukan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia
TUJUAN
1.
Menjelaskan Tentang BiayaTransaksi
2.
Menjelaskan Biaya Transaksi Dalam Pembangunan
Ekonomi Di Indonesia
3.
Menjelaskan Tentang Korupsi
4.
Menjelaskan Pentingnya Pemberantasan Korupsi Dalam
Memajukan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia
BAB
II
BIAYA TRANSAKSI
Teori biaya transaksi pada
mulanya muncul untuk menyelamatkan kesalahan relatif dari teori ekonomi
neoklasik untuk mencukupi tujuan dan penjelasan mengenai fenomena ekonomi
seperti dinyatakan oleh Alchian dan Woodward, 1988 dalam Martin et.al 2010.
Ronald Coase merupakan tokoh
penting yang merupakan tonggak pengakuan internasional terhadap jasa – jasanya
dalam mengembangkan analisa biaya transaksi (ABT). Ciri sentral analisis Coase
dapat disimak dari definisi mengenai biaya transaksi berikut ini (Coase, 1960)
dalam Kuncoro (2002) In order to carry
out a market trancsactionn it is necessary to discoer who it is that one deal
with, to inform people that one wishes to deal and on what terms, to conduct
negotiations leading up to a bargain, to draw up a contract, to undertake the
inspection needed to sure that the term of the contracts are being observed and
so on.
Dimana pengertiannya adalah untuk
melakukan transaksi pasar diperlukan mengidentifikasi dengan siapa seseorang
bertransaksi, menginfornasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin
berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis
kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa syarat –
syarat kontrak telah diikuti dan seterusnya. Sehingga coase meyakini bahwa
biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga
mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi (Coase, 1995)
Ilmu ekonomi modern mengenai
biaya transaksi oleh oliver Williamson. Williamson meneliti sumber – sumber
tingginya biaya transaksi, biaya kontrak, dan alat organisasi yang membuat
pelaku bisnis harus berupaya mengatasinya. Williamson mengikuti definisi Arrow
mengenai biaya transaksi sebagai biaya menjalankan sistem ekonomi. (Kuncoro,
2002)
Dari sudut pandang lain biaya
transaksi dapat pula dipisahkan menjadi biaya transaksi sebelum kontrak
(exante) dan setelah kontrak (expost). Biaya transaksi exante adalah biaya
membuat draf negosiasi dan mengamankan kesepakatan. Sedangkan biaya transaksi
expost meliputi biaya – biaya sebagai berikut:
1 Biaya kegagalan
adaptasi ketika transaksi menyimpang dari kesepakatan yang telah
dipersyaratkan.
2 Biaya negosiasi
yang terjadi jika upaya bilateral dilakukan untuk mengkoreksi penyimpangan
setelah kontrak.
3 Biaya pengikat agar komitmen
yang telah dilakukan dapat terjamin.
Dua asumsi perilaku
ketika analisis biaya transaksi beroperasi adalah rasionalitas terbatas
(bounded rationality) dan perilaku oportunis (oportunistic). Secara umum
termanifestasikan dalam wujud dari sifat oportunis adalah menghindari kerugian,
penyimpangan moral, penipuan, melalaikan kewajiban dan bentuk perilaku
strategis lain. Boundedrationality sendiri merujuk kepada tingkat dan batas
kesanggupan individu untuk menerima, menyimpan, mencari kembali dan memproses
informasi tanpa kesalah (Williamson: 1981)
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah
menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang
berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama
penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak
dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi
terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan
investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian
dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas
investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional.
Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di
Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum
terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan
iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam
pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga
diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan
para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi
internasional.
BIAYA TRANSAKSI DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
A.Kepastian Hukum sebagai Pertimbangan Utama Investor
Horikawa Shuji, salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan
pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang
paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis
selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap
mendapat insentif yang memadai dari pemerintah dimana ia berinvestasi dan
memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya
dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk
berkembang.Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah
adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan
sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.
Dengan
demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi
pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian
dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan
Henry Gomez.
dapat disimpulkan bahwa
bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural
dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan
kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di
Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat
pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct
investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang
dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm
level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori
instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan
tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya
akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill
tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait
desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah.16 Lebih
jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya
reformasi yang cukup strategis dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal,
liberalisasi perdagangan, reformasi sektor keuangan, perpajakan,
ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi permasalahan
adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah
dengan implementasi di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan
dengan kenyataan penerapannya.17 Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 menempatkan asas
kepastian hukum dalam posisi teratas dari 10 asas penyelenggaran penanaman
modal di Indonesia. Asas ini menekankan pada kedudukan Indonesia sebagai negara
hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Namun,
masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi tidak seluruhnya
ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam UU tersebut. Kepastian hukum dalam
pengertian substansi harus pula didukung pula oleh substansi hukum pada bidang
hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur
penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan
peraturan perundang-undangan terkait investasi dalam peristiwa konkrit melalui
putusan-putusan badan peradilan menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum.
Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang memberikan citra pada kepastian
hukum tersebut.
B. Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor
Penghambat Investasi di Indonesia
Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi
tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan
istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan
aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown
field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi
stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum
kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori
komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi,
pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi,
investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja;
(2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro
ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian
kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi
yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis,
berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya
dengan efektif hukum persaingan.
Kepastian
hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan
sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak
antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik
negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh
pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya
praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada
terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang
menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak
dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat
merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai,
kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of
contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika
mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak
konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.
Selain itu, pengadilan di
Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan
sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak
terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan.
Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu
memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi
hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT
Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak
perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan
terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian
internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko
Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.
Terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia mendorong
terjadinya internasionalisasi aktifitas bisnis yang kemudian menyebabkan
beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku bisnis di Indonesia akan
berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan mitra bisnis yang tidak
saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi juga berbeda kultur hukum.
Transaksi
bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati
oleh para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan
keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari
pelaksanaan kontrak tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia
menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang
diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak
yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga kewajiban
hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. Sebagai konsekwensinya, maka hakim
maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tersebut.
Bagi
mitra bisnis yang berasal dari negara dengan kultur litigious kontrak adalah
sesuatu yang suci dan harus dihormati, karena secara filosofis kontrak adalah
perwujudan dari keinginan/ pilihan bebas manusia bermartabat. Pembatalan
kontrak oleh pihak lain yang bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan
yang tidak rasional dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan
bebas manusia. Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability hukum
akan hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi kegiatan investasi.
Ketidakpastian
hukum dalam transaksi bisnis sangat mempengaruhi keinginan investor
berinvestasi, setidaknya karena dua hal : Pertama, tidak ada kegiatan
investasi yang dapat dilaksanakan tanpa melakukan transaksi bisnis. Dengan kata
lain kegiatan investasi adalah bagian dari transaksi bisnis (internasional. Kedua,
karena pola internalisasi perusahaan-perusahaan multinasional yang selalu
didahului oleh aktifitas transaksi bisnis internasional (khususnya perdagangan
internasional). sebagian besar dari perusahaan multinasional cenderung untuk
membangun aktifitas mereka di luar negeri dalam sebuah rentetan kegiatan yang
terstruktur, khususnya dimulai dari ekspor, kemudian membangun sebuah kantor
kecil perwakilan untuk menambah kekuatan penjualan, pemasaran dan distribusi
operasi, dan pada akhirnya membangun sebuah investasi langsung dalam bentuk
fasilitas produksi. Sistem perdagangan internasional yang
liberal dapat menciptakan iklim yang lebih menarik bagi perusahaan
multinasional untuk memulai kegiatan ekspor mereka di negara host country.
Peluang ini harus dimanfaatkan oleh host country dengan tersedianya
rejim investasi yang bebas, jika tidak kemungkinan tahapan terakhir dari urutan
strategi pengembangan bisnis perusahaan multinasional, yakni melakukan
investasi langsung, akan dilakukan ke negara lain yang lebih dapat menjamin kepastian
investasi mereka.
C. Kesiapan Melakukan Transaksi Bisnis Internasional
Transaksi bisnis internasional dapat menimbulkan masalah yang
cukup kompleks, terutama karena perkembangannya yang cukup pesat dan
terdapatnya lebih dari sistem hukum nasional dalam satu transaksi. Oleh karena
itu, diperlukan kesiapan yang cukup dalam melakukan transaksi bisnis
internasional. Keseiapan ini meliputi seluruh tahapan transaksi, yakni pada preparation
phase, performance phase maupun enforcement phase. Pertimbangan yang
tidak memadai dalam setiap tahapan tersebut dapat berakibat timbulnya masalah
dalam pelaksanaan transaksi yang bersangkutan. Menurut Erman Rajagukguk aspek
yang harus diperhatikan pada ketiga tahap transaksi meliputi aspek budaya (cultural
aspect), aspek hukum (legal aspect) dan aspek praktis (practical
aspect).
Preparation
phase. Pada tahap persiapan transaksi, aspek
cultural yang perlu diperhatikan meliputi peranan lawyer dalam budaya
hukum mitra transaksi. Tidak semua budaya hukum masyarakat internasional
meletakkan peran penting bagi lawyer dalam persiapan transaksi. Pada
masyarakat Amerika Serikat yang litigious umumnya menempatkan peran strategis
dari lawyer dalam fase persiapan transaksi, sebaliknya bagi masyarakat
timur seperti Cina, Jepang dan Korea, peran ini tidak terlalu penting. Dari
segi hukum, yang harus diperhatikan sebelum melakukan transaksi adalah klausula
mengenai pilihan hukum (choice of law, governing law atau applicable
law). Pilihan hukum ini sangat penting karena selain dapat menghindari
ketidakpastian pengaturan juga akan mengurangi forum shopping jika terjadi
permasalahan dalam transaksi. Sebenarnya dalam fase ini peran lawyer sangat
penting untuk memberikan nasihat kepada pelaku transaksi mengenai keunggulan
dan kelemahan dari hukum yang akan dipilih. Hal yang sama juga berlaku terhadap
klausula terkait pilihan forum. Harus dipertimbangkan secara cermat forum yang
akan dipilih untuk menyelesaikan sengketa transaksi, apakah melalui pengadilan
atau alternatif penyelesaian sengketa non litigasi. Jika memilih arbitrase juga
harus dipertimbangkan keunggulan dan kelemahan forum arbitrase yang dipilih,
termasuk pertimbangan biaya. Apabila pelaku transaksi telah memilih hukum
maupun forum penyelesaian sengketa maka sebenarnya yang bersangkutan telah
memahami konsekwensi dari pilihan tersebut, sehingga diharapkan muncul sikap
yang bertanggungjawab terhadap pilihan yang telah dilakukan. Terkait aspek
praktis transaksi, maka satu hal yang sering diabaikan adalah kecukupan waktu
untuk membahas transaksi secara menyeluruh baik
dengan
mitra transaksi maupun secara internal di lingkungan perusahaan. Termasuk dalam
pertimbangan praktis adalah perhitungan efisien waktu dan biaya dalam pilihan
forum yang akan disepakati.
Performance phase. Pada phase
ini mengenal lebih jauh budaya mitra transaksi dalam transaksi yang bersangkutan
adalah sangat penting. Tindakan yang mungkin membuat keteresinggungan mitra
transaksi akan membuat kontrak transaksi menjadi tidak berguna dan dapat
merusak hubungan bisnis. Pada aspek legal, diperlukan pemahaman yang cukup
tentang berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pelaksanaan
transaksi, misalnya peraturan terkait sistem pembayaran, batasan-batasan
melakukan transaksi, peraturan-peraturan terkait hukum persaingan, hukum
perikatan, arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,
peraturan-peraturan perlindungan konsumen, dan peraturan lainnya yang terkait
langsung dalam pelaksanaan transaksi. Sekali lagi peran lawyer sangat
diperlukan dalam phase ini. Pada aspek praktis, pertimbangan ini meliputi sisi
praktis penggunaan pengertian-pengertian yang akan dituangkan dalam kontrak
transaksi, karena dapat saja terjadi perbedaan pengertian secara praktis
tentang satu istilah (definisi) yang dipergunakan dalam transaksi. Masalah force
majeure juga perlu diperhatikan dalam aspek praktis ini, karena dapat saja
suatu peristiwa adalah kahar dalam pemahaman pihak lain, tetapi tidak menurut
praktek transaksi di negara mitra transaksi.
Enforcement phase. Metode
penyelasaian sengketa transaksi terkait erat dengan budaya para pihak. Bagi
mitra yang berasal dari negeri timur seperti Cina dan Jepang misalnya, lebih
suka menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan melalui mediasi, atau
konsiliasi, sedangkan bagi masyarakat Amerika Serikat dan Eropa pada umumnya
lebih cenderung memilih arbitrase yang mereka nilai lebih memiliki kepastian
hukum. Terkait dengan pilihan arbitrase sebagai media penyelesaian sengketa,
maka dari sisi hukum harus dipahami berbagai ketentuan terkait arbitrase dan
Bagaimana pengakuan terhadap putusan arbitrase tersebut di negara sendiri
maupun di negara mitra transaksi. Hal ini sangat penting, karena meskipun
diyakini secara umum putusan arbitrase bersifat final and binding, namun
dalam beberapa kondisi masih dimungkinkan terjadinya pembatalan atau penolakan
eksekusi putusan. Ketentuan-ketentuan semacam ini harus terlebih dahulu
dipahami secara sadar dan penuh tanggungjawab, sehingga pelaksanaan transaksi
tersebut dapat menonjolkan sikap itikad baik dan penuh tanggungjawab. Sementara
dari aspek praktis, yang harus dipertimbangkan adalah terkait cost benefit
ration dari system penyelesaian sengketa yang dipilih.
KORUPSI
Menurut
Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualanbarang-barang milik
pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntunganpribadi. Sebagai contoh, pegawai
negeri sering menarik pungutan liardari perizinan, lisensi, bea cukai, atau
pelarangan masuk bagi pesaing.Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk
tugas pokoknya atau pribadinya. Untuk kasus seperti ini, karena korupsi
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif
terhadappertumbuhan.
Menurut Adji
(1996) berdasarkan pemahaman dan dimensi barumengenai kejahatan yang memiliki
konteks pembangunan pengertiankorupsi tidak lagi hanya diasosiasikan dengan
penggelapan keuangannegara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks
(penerimaankomisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan.
Penilaianyang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintahseperti
bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yangdikategorikan
sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law(kejahatan-kejahatan
yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyakcontoh diberikan untuk
kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran
pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and
misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana
masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible
crime (kejahatan yang tak terlihat). Istilah invisble crime banyak
ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang sulit dibuktikan maupun tingkat profesionalitas
yang tinggi dari pelakunya. Glendoh (1997) berpendapat bahwa korupsi
direalisasi oleh aparat birokrasi dengan perbuatan menggunakan dana kepunyaan negara
untuk kepentingan pribadi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum.
Korupsi tidak selalu identik dengan penyakit birokrasi pada instansi
pemerintah, pada instansi swasta pun sering terjadi korupsi yang dilakukan oleh
birokrasinya, demikian juga pada instansi koperasi. Korupsi merupakan perbuatan
tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak sendi-sendi
kehidupan instansi, lembaga, korps dan tempat bekerja para birokrat. Korupsi dalam
kaitannya dengan birokrasi dapat berpenampilan dalam bentuk, kolusi, nepotisme,
uang pelancar, dan uang pelicin. Masih menurut Glendoh (1997), kolusi adalah
sebuah persetujuan rahasia di antara dua orang atau lebih dengan tujuan penipuan
atau penggelapan melalui persekongkolan antara beberapa pihak untuk memperoleh
berbagai kemudahan untuk kepentingan mereka yang melakukan persekongkolan. Nepotisme
adalah kebijaksanaan mendahulukan saudara, sanak famili serta teman-teman. Nepotisme
dapat tumbuh subur di Indonesia karena budaya partrimonial yang lengket sejak
jaman dahulu. Sedangkan uang pelancar sering timbul karena tata
cara kerja dan kebiasaan dalam kantor-kantor pemerintah sangat berbelit-belit
dan berlambat-lambat, sehingga keinginan untuk menghindari kelambatan ini
merangsang pertumbuhan kebiasaan-kebiasaan tidak jujur. Uang pelicin merupakan
bentuk korupsi yang sudah umum terutama dalam hubungan dengan hal-hal pemberian
surat keterangan, surat ijin dan sebagainya. Biasanya orang-orang yang menyogok
dalam hal ini tidak menghendaki agar peraturan-peraturan yang ada dilanggar.
Hal yang diinginkan adalah supaya berkas-berkas surat dan komunikasi cepat berjalan,
sehingga keputusan dapat diambil dengan cepat pula. Menurut Silalahi (1997) korupsi
bukan hanya terjadi pada aparatur pemerintahan, korupsi di kalangan pegawai
swasta malah jauh lebih besar, seperti terjadinya kredit macet di sejumlah bank
swasta yang disebabkan oleh adanya kolusi antara direktur bank dengan
pengusaha. Di
samping itu korupsi di kalangan aparatur negara tidak semata-mata disebabkan
oleh gaji yang kecil, sebab yang justru melakukan korupsi secara besar-besaran
adalah mereka yang bergaji besar akan tetapi tidak puas dengan apa yang
diterima sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan. Pendapat lain mengatakan
bahwa korupsi di negara-negara berkembang biasanya terjadi, karena ada
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan petugas atau pejabat
negara (Mugihardjo,1997). Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dapat terjadi
di negara-negara berkembang, sebab pengertian demokrasi lebih banyak
ditafsirkan dan ditentukan oleh penguasa daripada ditafsirkan dan ditentukan
oleh pemikir di negara-negara berkembang tersebut.
Masood Ahmed
(1997), direktur pengurangan kemiskinan dan manajemen ekonomi Bank Dunia, mengingatkan
negara-negara miskin bahwa korupsi merupakan perintang utama pertumbuhan
ekonomi, karena korupsi membuat para investor menyingkir. Bukti-bukti yang berkembang
menunjukkan, korupsi di negara-negara sedang berkembang menjadi penghambat
utama investasi sektor swasta dan bagaimana seharusnya jalan hidup rakyat
biasa. Sejalan dengan itu Fred Bergsten, Direktur Insttitute for International
Economics dari Amerika Serikat (Kompas,1996) berpendapat bahwa korupsi
tidak hanya bisa mengganggu perturnbuhan negara yang bersangkutan, tetapi juga
bisa menjadi penghambat upaya mewujudkan perdagangan bebas dunia. Bergsten juga
menegaskan bahwa dari hasil penelitian terhadap 78 negara maju dan berkembang
diketahui adanya korelasi langsung antara tingkat korupsi dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Semakin bersih suatu negara dari korupsi, semakin tinggi
pula peluang negara itu untuk bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik. Beberapa praktik korupsi yang disoroti Bergsten yang cukup menonjol adalah
proses tender untuk pengadaan barang-barang bagi keperluan pemerintah
(government
procurement) yang tidak transparan dan suap dalam kontrak-kontrak
pemerintah.
Pentingnya Pemberantasan Korupsi
Dalam Memajukan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia
a.
Tipologi korupsi
Untuk
kepentingan perumusan strategi pemberantasan korupsi dipandang perlu untuk
terlebih dahulu mengenali karakteristik dan jenis korupsi. Syed Hussain Alatas
(1987), seorang ahli sosiologi korupsi, membedakan jenis-jenis korupsi menurut
tipologinya sebagai berikut.
(1) Transactive
corruption
Adanya
kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi
keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan
ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan
pemerintah
atau masyarakat
dan pemerintah.
(2) Exortive
corruption
Jenis korupsi
dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang
mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang
dihargainya.
(3) Investive
corruption
Pemberian barang
atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan
yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
(4) Nepotistic
corruption
Penunjukkan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan,
atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau
bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan
peraturan yang berlaku.
(5) Defensive
corruption
Perilaku korban
korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
(6) Autogenic
corruption
Korupsi yang
tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri. Misalnya pembuatan
laporan keuangan yang tidak benar.
(7) Supportive
corruption
Tindakan-tindakan
yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.
Misalnya menyewa preman untuk berbuat jahat, menghambat pejabat yang jujur dan
cakap agar tidak menduduki jabatan tertentu.
b.
Pendekatan Perumusan Strategi dalam Upaya Pembrantasan Korupsi
Analisis
atas perbuatan-perbuatan korupsi dapat didasarkan pada berbagai pilihan
pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan
strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang tepat. Praktik korupsi
dapat dilihat
berdasarkan
aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan korupsi
terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah
perbuatan korupsi terjadi. Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya
bersifat preventif. Pada posisi
perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi terjadinya
korupsi bersifat detektif.
Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi upaya untuk
meyelesaikannya secara hukum dengan sebaikbaiknya bersifat represif.
Strategi
preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi
penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang
teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di
samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur
terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan korupsi dapat mempercepat
pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan menghindarkan kerugian
lebih besar yang mungkin timbul. Strategi represif harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam praktik korupsi. Dengan demikian, proses penanganan korupsi
sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan
peradilan perlu dilkaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses
penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan
tepat. Akntansi
forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik dapat
mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatan-pendektan yang efektif dalam
mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi. Untuk
kepentingan ini akuntansi forensik di indoensia belum banyak digunakan karena
profesi
akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai
salah satu profesi akuntan.
Akuntansi
forensik dan profesi akuntan forensik yang di negaranegara maju mengambil peran
strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di Indonesia belum
begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum ditetapkannya
standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik dalam kurikulum
perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan akuntan forensik
merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang secara
khusus dalam kurikulumnya memberikan dasar-dasar ilmu hukum khusus yang
berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.
c.
Peran dan Tantangan Akuntansi Forensik untuk Pemberantasan Korupsi dalam
Persfektif Fraud Triangle
Fraud
triangle adalah model yang menjelaskan alasan orang melakukan
fraud termasuk korupsi yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R.
Cressy dalam disertasinya. Penelitian Cressy diarahkan untuk mengetahui
penyebab dari orang-orang memutuskan untuk melakukan pelanggaran ”trust
violator”. Penelitiannya menggunakan 200 orang responden yang terdiri dari
orang-orang yang secara ansih telah diputuskan oleh pengadilan sebagai pelaku fraud.
Hasil penelitiannya adalah, orang melakukan fraud didorong oleh tiga hal yang
disebutnya sebagai fraud triangle yaitu pressure, perceived
oppertunity dan rationalitation.
Cressy dalam
disertasinya membahas bahwa seseorang melakukan penggelapan karena didorong
oleh kebutuhan akan uang yang mendesak dan tidak mungkin diceritakan kepada
orang lain. Himpitan yang mendesak dan perasaan bahwa tidak ada orang yang dapat
membantu dalam temuan Cressy dikenal dengan perceived nonshareble need.
Situasi yang
memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy
dikelompokan menjadi enam yaitu violation of ascribed obligation,
problem resultig from personal failure, business reversals, pysical
isolation, status gaining dan employer-emloyee relation. Ini berarti
perceived non-shareble need tidak hanya berhubungan dengan
kebutuhan hidup
yang mendesak akan tetapi lebih pada kebutuhan untuk memperoleh status lebih
tinggi atau mempertahankan status yang sudah ada.
General
information dan technical skills adalah dua
dimensi utama yang dipandang oleh pelaku fraud sebagai peluang. Untuk melakukan
fraud seseorang tidak cukup hanya dengan dorongan tekanan kebutuhan. Informasi
yang dimiliki membentuk keyakinan bahwa karena kedudukan dan kepercayaan institusi
yang melekat pada dirinya maka fraud yang dilakukannya tidak akan
diketahui. Untuk melakukan fraud atau korupsi komponen berikutnya dari opportunity
adalah kemampuan atau keahlian untuk melakukannya. Tanpa kemampuan yang
memadai menyembunyikan fraud atau korupsi tentu tidak mungkin untuk
dilakukan apalagi untuk kasus-kasus korupsi yang bersifat sistemik.
Sisi segitiga fraud
yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan
tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan yang menghimpitnya tentu
terlebih dahulu akan mencari alasan pembenar atas tindakannya. Alasan pembenar
merupakan motivator
yang penting
dalam pengambilan keputusan utuk melakukan tindakan ilegal. Alasan-alasan
seperti saya akan melakukan korupsi karena toh orang lain juga melakukan, saya
pantas melakukan korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas
perjuangan saya adalah bebrapa alasan yang cukup sering dilontarkan oleh
koruptor.
Akuntansi
forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan menyediakan
alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud
triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi
akuntan forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku
korupsi bahwa
ada peluang
untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan mampu
mengungkapkannya.
Keyakinan bahwa
tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk transactive
corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive
corruption, exortive corruption maupun defensive corruption menjadi
terbatasi karena ada profesi kompeten yang akan menginvestigasi. Dalam kontek
ini akuntansi forensik berperan sebagai strategi preventif untuk mencegah tindak
pidana korupsi karena ada kekawatiran dari pelaku bahwa korupsi yang dilakukan
dengan mudah akan terungkap oleh para akuntan forensik.
Akuntansi
forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan tindak pidana
korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi
dalam audit forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik
yang sejak awal memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk kepentingan
persidangan di pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih bermanfaat
dibandingkan dengan audit umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan. Dalam
kontek strategi detektif audit forensik menrapkan prosedur-prosedur investigasi
unik yang
memadukan
kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan
investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus
operandi dari pelakunya.
Peran akuntansi
dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud
termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki
lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk
menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian
dari profesi akuntan di Indoensia khususnya dari kompartemen akuntan pendidik
maupun kompartemen lainnya.
Perhatian
tersebut dapat berupa sumbangan kajian empiris atau konseptual mengenai
bagaimana kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia dan
bagaimana sistem pendidikan dan kurikulum ideal untuk menghasilkan tenaga akuntan
forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji
tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle yang mendorong orang
melakukan tindakan korupsi di Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
BIAYA TRANSAKSI
Kepastian hukum dalam transaksi
bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik
investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing
maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum
dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan
ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks
Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi
bagian dari kendala investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena
ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena
adanya unclearity of status and definition dalam peraturan
perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam
putusan-putusan pengadilan.
Citra
hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum,
tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur
pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada
itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum
investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian
hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di
Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di
Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan
arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus
didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh,
sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca
keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat
yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat
dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.
KESIMPULAN
KORUPSI
(1) Akuntansi forensik merupakan formulasi
yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif dan persuasif melalui
penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat litigation
suport untuk menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam
proses pengambilan putusan di pengadilan.
(2) Belum
tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensik dan audit
forensik memerlukan upaya dari institusi penyelenggara pendidikan dalam
menyediakan kurikulum yang membekali lulusan dengan kompetensi akuntansi
forensik.
(3) Belum
tersedianya lembaga dan standar profesi auditor dan akuntan forensik merupakan
tantangan bagi profesi akuntansi di Indonesia untuk mengoptimalkan peran
profesi dalam penanganan masalah nasional khususnya pengungkapan dan penanganan
kasus korupsi.
DAFTAR ISI
Hemmer,
Hans-Rimbert, et.all., 2002, Negara Berkembang dalam Proses Globalisasi
Untung atau Buntung ?, Konrad Adenauer Stifftung, Jakarta.
Juwana,
Hikamahanto, 2002, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati,
Jakarta.
Rajagukguk,
Erman, 2005, Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Media Indonesia
Online. 1997. "Korupsi Membuat Investor Menyingkir, Pertemuan Bank
Dunia-IMF Ditutup" http //www.rad.net.id/online/mediaind/publik/
9709/26/MIOI 04.26.html
Saefuddin, Ahmad
Muflih .1997. "Korupsi Struktural." Gatra Info Service. http
://www gatra.com/III/28/kol6-28.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar