MASAORDE
BARU
• Slogan lama: “Berdaulat dalam politik, berdikari di
bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”, dilindas oleh slogan baru
: “Politik no, ekonomi yes!” Masyarakat terhanyut, dan tidak sadar bahwa slogan
itu sendiri adalah politik!
• Kebijakan umum Orde Baru ditandai oleh sejumlah ciri,
yaitu: (a) stabilitas merupakan prioritas utama; (b) di bidang sosial ekonomi,
pembangunan menggantungkan diri pada hutang luar negeri, modal asing, dan betting
on the strong; dan (c) di bidang agraria mengambil kebijakan jalan pintas,
yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria.
Dengan kebijakan demikian, maka UUA 1960 ibarat masuk “peti-es”.
Artinya, sekalipun tidak dicabut, keberadaannya tidak dihiraukan.
• Tahun 1967 tiga undang-undang yang mengabaikan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960 (UU PMA; UU Pokok Kehutanan; UU
Pokok Pertambangan).
• Untuk sekitar 11 tahun lamanya UUPA 1960 dipersepsikan
secara keliru, sebagai produk PKI. Stigma ini bahkan masih melekat di benak
sebagian masyarakat kita sampai sekarang.
• Baru pada tahun 1978 keberadaan UUPA 1960 dikukuhkan
kembali sebagai “produk nasional” (bukan produk PKI), setelah adanya laporan
hasil penelitian dari Panitia Soemitro Djojohadikoesoemo (almarhum) yang pada
saat itu adalah Menristek. Kembalinya perhatian atas keberadaan UUPA 1960 ini
—barangkali— juga karena adanya undangan dari FAO untuk menghadiri Konferensi
Sedunia tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan di Roma tahun 1979.
• Dalam Konferensi Roma tahun 1979, Indonesia mengirim
delegasi besar. Hasil konferensi ini adalah sebuah dokumen yang di tahun 1981
diterbitkan oleh FAO dengan judul Peasant’s Charter (Piagam Petani). Disepakati
bahwa setiap dua tahun sekali tiap negara akan melaporkan pelaksanaan Reforma
Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Tidak ada berita, apakah Indonesia memenuhi
kesepakatan tersebut.
• Di tahun 1981 di Selabintana Sukabumi (Jawa Barat)
berlangsung lokakarya internasional dengan tema yang sama, sebagai tindak
lanjut Konferensi Roma, yang hasilnya disertai sebuah rekomendasi kepada
pemerintah Indonesia.
Keberadaan Piagam Petani
hasil pertemuan Roma, dan rekomendasi Selabintana ternyata tidak mampu
mendorong pemerintah Orde Baru melakukan “re-orientasi kebijakan”. Bahkan,
kebanggaan yang berlebihan dari berhasilnya swasembada pangan di tahun 1984
telah membuat Orde Baru terlalu percaya diri bahwa tanpa Reforma Agraria
(melalui “jalan pintas”) kita akan mampu memakmurkan rakyat.
• Berbagai krisis agraria yang terjadi itu tak lepas
dari kecarut-marutan dalam sistem perundang-undangan di bidang agraria (secara
luas).
• Meskipun UUPA dikukuhkan kembali, hal itu tidak
membantu mengatasi, sebab beberapa UU sektoral –yang berbeda semangatnya dengan
UUPA 1960 sudah terlanjur berlaku demikian lama, maka ketika UUPA 1960
dikukuhkan kembali, yang terjadi bukannya penjernihan, melainkan
ketumpang-tindihan. Terdapat kesan kuat bahwa di sana-sini terjadi rekayasa
hukum dan manipulasi agar seolah-oleh suatu kebijakan itu merujuk kepada UUPA
1960, sedangkan pada hakikatnya adalah demi memfasilitasi investasi asing,
berlawanan total dengan cita-cita dasar UUPA 1960.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar