MASA ORDE LAMA· Belajar dari pengalaman masa kolonial, ditarik pelajaran bahwa sistem
ekonomi perkebunan besar ternyata menyengsarakan rakyat, terutama karena telah
menggusur tanah-tanah luas yang semula menjadi garapan rakyat.· Setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, Jendral Mc Arthur
memerintahkan Kaisar Hirohito untuk melaksanakan Landreform. ·
Begitu
merdeka, para pendiri Republik menjadikan pusat perhatian utama di bidang
sosial-ekonomi haruslah diletakkan pada perencanaan untuk “menata-ulang”
masalah pemilikan, penguasaaan dan penggunaan tanah. Sekitar setengah tahun
Indonesia merdeka, Wakil Presiden, Bung Hatta (sebagai seorang ekonom) telah
menguraikan masalah “ekonomi Indonesia di masa depan”. Di antara berbagai
uraian beliau yang penting di masa lalu itu, ada dua butir yang perlu disebut
dan dikemudian turut menjiwai isi dan semangat UUPA 1960), yaitu: (a)
tanah-tanah perkebunan besar itu dahulunya adalah tanah rakyat; (b) bagi bangsa
Indonesia, tanah jangan dijadikan barang dagangan yang semata-mata digunakan
untuk mencari keuntungan (komoditi komersial). Period 1945—1950: Uji coba landreform·
UU
No. 13/1946 Landreform di daerah Banyumas.
·
UU
Darurat No. 13/1948 Landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.·
1948
itu pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan
pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru,
Undang-Undang Nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870. ·
Namun,
karena adanya agresi Belanda (Clash ke-2, Desember 1948—Agustus 1949) maka
panitia dibubarkan.
·
Setelah
berbagai gejolak sepanjang masa RIS dan
Setelah Indonesia kembali menjadi NKRI, Panitia Agraria Yogya (1948)
kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dengPanitia Agraria Yogya (1948)
kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dan dikenal sebagai Panitia Agraria
Jakarta.
·
Sistem
parlementer membuat kebinet jatuh-bangun dalam waktu singkat, kepanitiaan Agraria
pun dua kali mengalami perubahan komposisi dan pengurus (Panitia Suwahyo, 1956;
dan Panitia Soenaryo 1958).
·
Periode
1950—1960: Situasi yang dilematis Di
satu pihak, gagasan awalnya bahwa proyek utama reform itu adalah tanah-tanah
perkebunan dengan hak erfpacht, tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah
partikelir, dan tanah-tanah terlantar. Tapi, di lain pihak, pemerintah
-sekalipun sudah kembali menjadi NKRI, dan bukan lagi RIS sebagaimana tuntutan
KMB- tetap terikat oleh perjanjian KMB yang mengandung ketentuan bahwa rakyat
harus dikeluarkan dari tanah-tanah perkebunan milik modal swasta Belanda itu.
Barangkali, dilemma inilah salah satu sebab yang turut mempengaruhi mengapa
proses perumusan UUPA menjadi begitu panjang (12 tahun).Tahun 1957 akhirnya
Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 menasionalisasi
perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958
menghapuskan tanah-tanah partikelir ·
Semula
periode ini direncanakan sebagai target masa pelaksanaan reforma agraria.
Tetapi karena berbagai pergolakan, konsentrasi pikiran pemerintah menjadi
terpecah. Berbagai masalah yang dihadapi waktu itu, antara lain karena
pemerintah masih harus menghadapi masalah penyelesaian sisa-sisa pemberontakan
PRRI/Permesta; tindak lanjut nasionalisasi perkebunan; perjuangan untuk
kembalinya Irian Barat; dan konfrontasi dengan Malaysia. Semua masalah ini menjadi hambatan tersendiri
untuk segera terlaksananya reforma agraria.·
Pada
sisi lain, karena UUPA 1960 itu baru berisi peraturan dasar, maka masih banyak
pasal-pasal yang sedianya akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan
ataupun undang-undang yang lebih operasional. Namun, karena kondisi seperti
tersebut di atas, maka hal itu sebagian besar belum sempat tergarap. Penjabaran
terpenting yang sudah dilakukan adalah ditetapkannya UU No. 56/1960 (yang
semula dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU),yang kemudian secara
populer dikenal sebagai UU Landrform, yaitu tentang “Penetapan Luas Tanah
Pertanian”. ·
Karena
kekurangan pakar agraria yang berpengalaman dalam hal landrefom, maka Menteri
Agraria (alamarhum Sadjarwo) melakukan konsultasi dengan seorang pakar dari
Amerika Serikat, yaitu Dr. Wolf Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di
Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom di
Jepang).·
Hasil Penelitian Ladejinsky:Pertama, antara gagasan dan tindakan pelaksanaan tidak
konsisten, tidak nyambung (disjointed). Gagasannya revolusioner tapi
pelembagaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi di Indonesia berbelit-belit. Data
tidak akurat, sehingga pelaksanaan redistribusi menjadi sulit dan mengalami
hambatan di lapangan. (Barangkali, inilah juga yang secara politis mendorong
PKI melakukan aksi sepihak, yang menimbulkan trauma dan melahirkan stigma bahwa
landrefom sama dengan PKI).
Kedua, model redistribusi tidak sesuai dengan
kondisi obyektif yang ada. Batas minimum 2 hektar diberlakukan secara
menyeluruh dianggap tidak realistis. Beberapa konsepnya, definisinya tidak
jelas. Misalnya, siapa, dan berapa jumlahnya orang yang berhak menerima
redistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yang
diperkirakan akan menjadi penerima riil (real benficiaries)? Tanah-tanah
apa saja yang akan menjadi obyek reform? PP. 224/1961 yang diterbitkan sebagai
pedoman pelaksanaan UUPA dianggap tidak konsisten dengan gagasan ideal UUPA. Pendapat Ahli yang Lain Pendapat Ahli yang Lain: Mc Auslan ·
Sisi
positif UUPA adalah: (1) UUPA 1960 merupakan produk hukum terbaik selama
sejarah RI; (2) kerangka, format dan rumusannya “modern”; (3) jauh-jauh hari
para perumusnya sudah memiliki kepekaan “gender”; dan (4) mempunyai idealisme
menghapuskan l’exploitation de l’homme par l’homme. Sisi negatifnya adalah: (1) dalam hal hukum
adat, kaitan dan penempatannya dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas; (2) program
landreform-nya juga dianggap belum terlalu jelas (mirip
kritik Ladejinsky); dan (3) belum diantisipasi kemungkinan akan terjadinya
berbagai hambatan.·
Di
samping adanya berbagai hambatan lainnya, menurutnya, ada dua hambatan pokok
dalam masalah agraria di Indonesia, yaitu:Hambatan
hukum. Baik di
pusat maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria.
Hal ini berkaitan erat dengan hambatan pokok yang kedua. Keterbatasan ketersediaan tenaga ahli / Hambatan
ilmiah (istilah Mc
Auslan). Berbeda dari negara berkembang lainnya, di Indonesia yang justru
merupakan negara besar yang pada dasarnya agraris, jumlah ilmuwan agrarianya
sangat terbatas. Menurut Mac Auslan, ini suatu ironi. Akibatnya, setiap kali
membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”. Padahal, agraria itu
mencakup hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan
politik, bahkan juga hankam).
POLITIK HUKUM AGRARIA
Nama : Wahyu Desambodo
NIM : 1002025192
PRODI
: ilmu pemerintahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar